JUAL KOPI HARGA : Rp 35.000 JL BALAIDESA NO 28 JATI RASA, JATIASIH BEKASI |
Para siswa mencari sebuah buku yang menjelaskan dasar-dasar membaca monoteisme dengan menggelengkan kepala. Tentu tidak ditemukan. Tak lama setelah itu, Mbah Siroj berhenti dan meminta kopi. Segar terhadap ulama agung, para siswa menghentikan masal bahtsul dan segera menyajikan kopi. Sang Wali Allah kemudian menikmati kopi sambil menyeruputnya.
"Menyenangkan," kata Mbah Siroj menggelengkan kepalanya. Tiga kali, ia kemudian pergi tanpa membantu siswa yang sedang mencari landasan untuk membaca ungkapan monoteistik dengan menggelengkan kepala.
Setelah kematian Mbah Siroj, para siswa ragu-ragu, apakah mereka melanjutkan diskusi atau tidak. Tetapi seorang santri menjawab bahwa itu tidak perlu dilanjutkan, karena waliyullah telah memperlakukan masalah mereka dengan cara yang sopan dan sederhana, yaitu minum kopi.
Sebuah kisah yang mirip dengan yang dijelaskan di atas, kisah mencicipi kopi di masa-masa sulit sering terungkap ketika berperang melawan penjajah. Seperti kita ketahui, para aktivis, Santri dan penghuni asrama sekolah terus berjuang tanpa henti untuk mencapai kemerdekaan fisik dan spiritual. Berbagai langkah telah diambil, baik dengan diplomasi damai maupun dengan perlawanan budaya terhadap konfrontasi fisik. Namun, kondisi yang melelahkan tidak ingin dirasakan terlalu banyak oleh para pejuang. Mereka masih bisa menghilangkan kepenatan sesekali dan bersantai sambil minum kopi.
KH Saifuddin Zuhri mengungkapkan bahwa antara tahun 1940 dan 1942, perjuangan mengalami pasang surut. Sebagai salah satu pemimpin Gerakan Pemuda Ansor pada saat itu, Zuhri akan mengunjungi seorang ulama Purbalingga, Kiai Hisham, kepala Pondok Pesantren Kaljaran di Purbalingga.
BACA JUGA : SEJARAH MINUM KOPI
Pondok pesantren dengan sekitar 700 siswa dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pesantren ini terletak di daerah pegunungan, jauh dari kota. Tidak ada kendaraan yang dapat digunakan untuk mencapai pesantren. Menggunakan sepeda sangat sulit karena saya harus menyeberangi sungai cepat yang penuh batu di tebingnya.
Setelah berjuang untuk menghadiri Pondok Pesantren Kalijaran, Zuhri tiba di Ashar dan langsung diterima oleh Kiai Hisham. Pada saat itu, Kiai Hisham juga menerima tamu, termasuk Kiai Raden Iskandar dari Karangmoncol. Ketika sejumlah kiai duduk bersama, tidak ada bedanya untuk membahas konsolidasi perjuangan melawan kolonialisme. Kesadaran mengejar penyerbu melekat dalam kiai karena sangat dekat dengan komunitas, sebuah kelompok yang sering menjadi korban kekejaman penjajah.
Kiai Hisham dan Kiai Raden Iskandar menanyakan hal yang sama, Zuhri bepergian dengan mamakai mana dan dengan siapa? Pertanyaan ini muncul karena memang sulit untuk mengakses pondok pesantren Kalijaran. Lokasi pesantren seperti ini secara otomatis sulit dijangkau oleh penjajah yang pergerakannya tidak luput dari jejak tokoh-tokoh penting untuk bertarung.
Di tengah pembicaraan tentang gerakan nasional, Kiai Hisham memanggil murid-muridnya untuk membuat kopi untuk Saifuddin Zuhri. "Santri, siapkan kopi kental, gunakan cangkir besar, tutupnya," kata Kiai Hisham kepada khadam untuk membuat kopi spesial. (Guru saya Orang-orang dari Pesantren, 2001)
Zuhri tahu betul kebiasaan kiai. Kopi manis dan kental dengan tutup besar adalah hidangan kehormatan yang hanya disajikan untuk orang-orang terhormat. Jika seseorang minum kopi, siang atau malam, tanda kehormatan
Reviews:
Post a Comment